SEARCHING HERE

Jumat, 09 April 2010

Peranan Budaya Pada Pola Konsumsi

Berbicara tentang budaya dan pola konsumsi adalah bicara tentang dua hal yang tak mungkin terpisahkan. Pola makan (konsumsi dalam pengertian sempit) akan berpengaruh terhadap cara berpikir dan perilaku yang akhirnya akan menjadi faktor penentu dalam membentuk budaya manusia, tentu saja disamping faktor yang lainnya seperti kondisi alam dlsb. Sebaliknya, budaya sebuah masyarakat juga akan berpengaruh terhadap cara berpikir dan perilaku masyarakatnya, termasuk didalamnya, pola konsumsinya. Karenanya, pola konsumsi dan budaya sebuah masyarakat adalah suatu hubungan yang bersifat korelatif. Namun, karena kebudayaan melahirkan sistem nilai yang kemudian terimplementasikan kedalam norma-norma sosial. Maka, kebudayaan mempunyai kekuatan menjaga sekaligus melindungi sistem kemasyarakatan dimana kebudayaan itu sendiri hidup, tumbuh dan berkembang.

Sehingga, tidak keliru pula kiranya, jika usaha kaum kapitalis untuk merubah pola konsumsi masyarakat kita yang sebelumnya dikenal sebagai hemat dan suka melakukan saving kapital menjadi masyarakat konsumtif, adalah dengan menghantam terlebih dahulu budaya masyarakatnya.

Dengan berbagai sarana yang mereka miliki, kerangka berpikir dan perilaku liberal yang termanifestasikan kedalam berbagai kegiatan sosial-budaya mereka, mereka paksakan masuknya ke negeri ini. Masuknya industri shoft drink seperti Coca-Cola dan minuman kemasan lainnya, sebagai prasyarat awal bagi masuknya investasi mereka di negara-negara dunia ketiga. Rupanya, mampu menyingkirkan fungsi patehan (orang yang bertugas membuat minuman) dalam sistem komunitas yang ada. Sebuah langkah awal yang dalam skala waktu berikutnya mampu meruntuhkan sistem kekerabatan yang selama ini menjadi tali pengikat sistem kemasyarakatan dalam masyarakat kita. Demikian pula dependensi orang-seorang terhadap masyarakat lingkungannyapun memudar sejalan dengan semakin meningkatnya berbagai produk makanan instan yang diproduksi oleh industri-industri padat modal yang kini mulai menguasai dapur-dapur ibu-ibu modern. Hampir tidak pernah lagi kita dengar, seorang ibu rumah tangga minta ke tetangga sebelah barang sejimpit garam, laos, atau daun salam, untuk melengkapi bumbu masakannya yang lupa dia belanjakan di pasar, yang kemudian diikuti dengan sedikit obrolan ringan tentang berbagai fenomena kemasyarakatan yang ada. Demikian pula, semakin menipisnya kebutuhan silaturahmi antar tetangga sebagai akibat dari semakin menipisnya sisa waktu dan tenaga individu keluarga untuk memenuhi kebutuhan konsumsinya. Kiranya, semakin menunjukkan betapa efektifnya berbagai manuver yang dilakukan oleh kaum kapitalis terhadap sistem pertahanan budaya kita.

Meningkatnya semangat untuk mencapai kemajuan yang di indikasi oleh meningkatnya pola konsumsi individu keluarga, rupanya, benar-benar mampu memotong mata rantai ikatan kemasyarakatan yang sebelumnya menjadi pagar pengaman bagi sebuah komunitas. Sementara, kerangka penyelesaian individual oleh individu keluarga semakin menguat seiring dengan semakin terbatasnya kesempatan komunikasi mereka dengan lingkungannya dalam menangani berbagai persoalan kehidupan. Inilah yang kemudian sering kita kenal sebagai sebuah bentuk penetrasi budaya.

Sebuah operasi budaya yang dampaknya bisa kita lihat dan rasakan bersama, apabila kita mampu melihat secara kritis kondisi kebangsaan kita akhir-akhir ini. Dimana, kontrol sosial tidak lagi mampu berfungsi efektif. Demikian juga, sangsi sosial tidak lagi mempunyai kekuatan untuk mengerem, melarang, apalagi menghentikan berbagai tindak a-sosial, kriminal maupun a-moral anggota masyarakat sebagai akibat dari semakin mengecilnya dependensi mereka terhadap lingkungan kemasyarakatannya.

Sebuah keberhasilan yang sangat luar biasa dari sebuah pertarungan budaya. Dimana “uangâ€, yang tidak lagi bisa dikontrol perolehan dan penggunaannya oleh sistem sosial-budaya masyarakatnya, menjadi kekuatan utama dalam menyelesaikan berbagai persoalan kehidupan keluarga.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar